Saturday, September 20, 2008

Banci



Saya menekan tombol remote berkali-kali. Tiba-tiba saya merasa mual. Banci lagi. Banci lagi. Dengan dandanan menor dan jenggot atau kumis masih terlihat jelas. Astaghfirullah. Saya matikan saja TV itu.
Fenomena dunia hiburan televisi terasa semakin gak karuan. Mau jadi apa negeri ini jika tontonan bermodalkan bancilah yang diutamakan? Saya heran banget sama pekerja kreatif pertelevisian. Apa mereka gak bisa bikin cerita lucu tanpa ada banci?
Coba deh, yang pernah nonton sitkom Bajaj Bajuri dan OB (Office Boy), apa di sana ada bancinya? Sepanjang episode yang saya tonton kayaknya gak ada deh. Tapi tetep lucu. Atau sinetron Kiamat Sudah Dekat 3 yang sedang tayang sekarang. Apa ada bancinya? Saya gak pernah lihat tuh. Dan semoga saja gak bakal muncul. Masih tetap lucu dan menghibur, kan?

Alasan aktor yang jadi banci biasanya adalah, “Eksplorasi peran.” Rasanya hebat jika bisa berakting menjadi perempuan. Dan orang suka. (Padahal, mereka ditertawakan karena mau-maunya mereka disuruh bergaya banci, bukannya karena mereka lucu. Percaya deh, orang pasti ketawa, ketika aktor berperan banci muncul di panggung (stage) padahal belum ngapa-ngapain. Baru nongol aja udah ketawa. Apa artinya,
tuh? Ngerti kan maksud saya?)
Dari sudut pandang saya, sebenarnya aktor itu sedang dihina. Atas dasar nama RATING, fitrah sebagai seorang lelaki harus dikorbankan. Coba ingat deh, para lelaki. Dulu, waktu masih sekolah (sekarang juga sih), paling anti kan disuruh jadi cewek jadi-jadian? Hina banget, deh rasanya kalo itu harus kejadian.
Menurut saya, aktor yang berperan jadi banci adalah aktor yang berada di level paling rendah. Di mana ketika ia “ngabodor”, harus mengandalkan pakaian perempuan yang melekat di badan lalu bergaya genit bahkan mengeksploitasi dan menghina kaum perempuan dengan memainkan payudara buatan, menaikkan rok, dan “pura-pura” ciuman dengan sesama lelaki. Astaghfirullahal adzim!!
Ketika seorang aktor menerima peran jadi banci, itu artinya ia mengakui bahwa ia tidak memiliki kapasitas akting yang cukup untuk bisa menghibur penonton. Padahal, seorang pelawak yang “tahan lama” biasanya karena ia bisa melucu dengan cerdas dan unik. Apapun yang dilontarkan oleh lawan pemainnya, ia bisa membalas dengan telak. Karena ia cerdas dan berwawasan luas. Tidak perlu tuh peran banci. Yang
jadi banci cuman orang bego. (Maap yah, Aming...)
Duh…, semoga para banci itu segera hilang dari televisi. Jika tidak akan semakin banyak pembenaran atas keberadaan mereka. Laki-laki ya laki-laki. Perempuan ya perempuan. Jangan setengah-setengah, dong. Saya aja benci jika orang bilang saya tomboi dan bilang, “Gapapa sih, Vi, jika kamu nyaman dengan sikap itu.”
Hm, itu salah satu alasan saya pake kerudung setelah tentu saja bahwa Allah memerintahkan wanita untuk memakainya.
Saya yakin, ini adalah ujian dari Allah SWT untuk kita. Yang selalu mendustakan nikmat yang diberikan-Nya. Dan para waria itu, yang ingin diakui keberadaannya. Saya yakin dalam hatinya ada keraguan. Hmm, seandainya saya bisa membantu mereka semua kembali ke jalan yang benar… :P (Yeah, I know. I’m so naive—lugu, karena muda dan belum berpengalaman). ***

Tulisan ini merupakan uneg-uneg saya tentang acara pertelevisian kita. Tidak ada maksud untuk menyinggung siapapun. (“,)

1 comment:

  1. ada keles....lu nya aja yg ga tau..itu yang munculin istilah "mpo neng nong" siapa? itu kan banci yang ada di bajab bajuri. ..ah parah lu.

    ReplyDelete