Sunday, September 2, 2007

NSP 1212

Adikku satu-satunya tiba-tiba datang menghampiriku dan bertanya, “Mbak, brosur NSP 1212 ditaro di mana?”
Aku terdiam. Berpikir. Otakku memproses runtutan kejadian perihal brosur tersebut. Begitu aku sampai di akhir untaian proses, aku segera teringat bahwa brosur itu kutaruh di ruang kerjaku. Di atas meja komputer. Aku segera memberitahu adikku.
Ia segera pergi tanpa tedeng aling-aling. Tak lama kemudian ia kembali sambil cemberut, “Gak ada!” katanya.
“Mungkin diambil sama orang lain. Yang pake Telkomsel di rumah ini, kan, bukan cuman kamu,” kataku berusaha bijak. Padahal sebenarnya tidak mau ambil pusing mikirin brosur tersebut.
“Yah… butuh banget, nih. Mau pasang NSP baru,” katanya lagi.
Aku menatap adikku heran. Baru kemarin ia mengeluh karena banyak yang miskol cuman buat dengerin NSP-nya. “Pokoknya Agil gak bakal pake NSP lagi, ah. Berisik. Pada miskol melulu.”
Dan sekarang? Ia malah uring-uringan nyari brosur NSP 1212 untuk memasang NSP baru di kartu ponselnya. Benar-benar tidak masuk diakal.
Aku sendiri yang mengambil brosur tersebut di gerai Telkomsel BEC, tidak pernah pasang NSP. Buang-buang pulsa, begitu alasanku. Kita yang bayar, orang lain yang dengar. Dan pada kasus adikku, teman-temannya jadi banyak yang miskol hanya untuk mendengarkan NSP tersebut. Dan satu orang bisa miskol lebih dari sekali.
Tapi layanan ini laris bak kacang goreng. Menjadi sumber pendapatan artis yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bayangkan, ada berapa juta orang yang menggunakan ponsel?
Sekarang, setiap operator layanan telekomunikasi selular menjadikan ring back tone ini sebagai salah satu layanan wajibnya. Biasanya, artis mendapat bagian terbesar, baru kemudian penyedia layanan telekomunikasi (operator) mendapat bagian.***

No comments:

Post a Comment