Saturday, September 25, 2004

Rapat, Fotokopi, dan Jalan Sempit

“Sebenarnya budget kita berapa sih?” aku bertanya pada Tini saat rapat divisi IC (Infokom) berlangsung di Ruang HIMA-MBTI. Saat itu ada Kak Fat, Tika, Tini, Fitri, dan aku sendiri sebagai Tim IC yang sedang merencanakan debut majalah kampus.
“Adalah. Cukup kalo mau bikin majalah berwarna,” ujar Tini.


“Terus, bikinnya gimana? Mau dicetak atau...”


“Nah, itu dia masalah saat ini. Beberapa hari terakhir ini udah keliling kota Bandung, nyari percetakan yang mau nyetak di bawah lima ratus eksemplar. Gak ada yang mau. Kalaupun mau, harganya mahal banget.”


Aku menjentikkan jariku penuh semangat, “Aku ada ide!”


“Apa, Vi?” yang lain menoleh ke arahku. Penasaran.


“Kenapa harus full colour jika kita bisa membuat covernya saja yang berwarna? Maksudku, yang pertama dilihat orang kan pasti covernya? Cover depan dan belakang, kita buat semenarik mungkin. Untuk teaser.. biar orang mau baca. Sisanya... alias isi majalahnya, kita fotokopi saja.”


“Fotokopi?” yang lain kayaknya kurang setuju dengan pendapatku barusan.


“Iya, fotokopi.”


Aku pikir ideku jenius. Jadi ketika tanggapan yang lain rada negatif, aku rada kecewa juga. Huu.., sedih.


Aku mulai mengeluarkan argumentasiku. “Cari fotokopi yang murah. Kalo bisa, bolak-balik cuma cepek (seratus rupiah). Kalo kita mau buat majalah dengan jumlah halaman sebanyak duapuluh, aku desain satu lembar A-empat untuk memuat empat halaman majalah, artinya ada lima lembar yang harus difotokopi. Lima ratus rupiah. Artinya (lagi) kita bisa menambah jumlah eksemplar dengan budget yang kita punya.”


Yang lain mulai mengangguk-angguk setuju. Memang bener kuliahnya Bu Ratna. Untuk menyampaikan business plan memang harus pake angka. Lebih meyakinkan. Apalagi ini urusannya duit.

“Terus covernya? Tetep ajah gak ada percetakan yang mau mencetak dengan oplah seratus lembar.”


Aku tersenyum. “Gampang!”


Kak Fat bersin. Aku melempar tisu di hadapanku ke arahnya. “Jangan nyebarin virus, dong!” ujarku. “Semoga cepat sembuh, deh!” ujarku lagi.


“Jadi covernya, Vi?” tanya Tika. Mengembalikanku ke dalam konteks rapat.


“Kita print saja.”


“Ih, kan jelek kalo di print di kertas HVS.”


Aku menggeleng kepala. Tanda tidak setuju. “Memang. Makanya jangan pakai HVS biasa. Pake inkjet paper. Kalo beli banyak jatuhnya bisa cuma dua ratus perak per lembar. Kita beli satu rim untuk beberapa edisi majalah.”


Tika ngutak-ngatik biaya di selembar kertas, “Wow, kalo kita bikin rencana pembuatan majalahnya kayak gitu, kita masih punya sisa budget nih.”


“Bisa buat beli bakso, dong!” kataku nyengir. Becanda.


“Huu...!” yang lain pada nyorakin.


“Kita bisa menambah jumlah eksemplar yang akan diproduksi. Mungkin hitam putih semua.”


“Iya, kasihan kan kalo ada anak yang gak kebagian cuman karena jumlah eksemplar yang kita buat sangat minim padahal dia support banget dengan pembuatan majalah ini.”


Diskusi berakhir dengan damai dan menyenangkan. Kini tinggal cari printer untuk mencetak cover. Akhirnya, seteleah berembuk dan menominasikan beberapa printer, printer HIMA bakal jadi korban kerja rodi kami (karena ia harus mencetak seratus halaman dengan gambar yang sempurna). Dan di kemudian hari, akhirnya printer itu jadi suka mogok minta istirahat.


Setelah rapat selesai, kami memutuskan harus segera mencari tempat fotokopian murah. Karena aku pergi ke kampus pake mobil Escudo, jadi supir deh.


Kami berlima berdesakan di mobil sempit itu. Aku di balik kemudi, Kak Fat di kursi depan penumpang, dan Tika-Tini-Fitri di kursi penumpang belakang. Berhimpitan.


Kak Fat merekomendasikan fotokopian di Ciwaruga. Sayang banget, tutup! Semua pada minta balik lagi ke arah kampus. Aku bingung.


“Ada tempat buat muterin mobil gak?” tanyaku panik. Abis jalannya sempit dan rusak bolong-bolong.


“Di sini aja atuh. Putar habis setirnya,” Kak Fat memberikan usul tanpa menyadari kemahiranku menyetir yang masih lumayan minim.


Aku manyun. “Ga mau ah. Kalau stuck melintang di jalan kan berabe.” Walaupun mobil tersebut cukup mungil, aku gak pede untuk membalikkan badan mobil di jalan itu. Terlalu sempit. Kalaupun bisa, membutuhkan waktu yang cukup lama karena aku harus memajumundurkan mobil hingga ia berbalik, sementara arus trafik di situ lumayan rame.


“Ya udah, maju aja ke depan, mudah-mudahan ada jalan yang cukup lebar. Tapi kalo ga salah, jalannya emang segini lebarnya.” Kata-kata Kak Fat kok terdengar serem banget ya di telingaku?


“Udahlah, Vi. Nyante aja. Kali aja nyampe ke rumahku,” kata Fitri iseng. Yeeee... yang lain langsung ketawa dan mengiyakan. Tapi kalo dipikir-pikir benar juga yang dikatakan Fitri. Rumahnya kan di Cihanjuang, bisa lewat situ juga.


Syukurlah, tak lama kemudian ada belokan ke Polban yang jalannya lumayan gede. Aku memutar balik mobil dan kembali ke kampus di Gerlong Hilir. Haaahh... syukurlah semua selamat! ***

No comments:

Post a Comment